AGAR KITA TURUT MERASAKAN INDAHNYA RAMADHAN

Oleh: Abdullah Zaen, Lc

Bulan Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Oleh sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut merasakan indahnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut[1]:

@ Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah ta’ala.

Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufiq dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya”.

Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdo’a kepada Allah ta'ala dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.

@ Kiat kedua: Bertaubat sebelum Ramadhan tiba.

Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: QS. At Tahrim: 8.

Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorangpun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Padahal dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufiq Allah ta'ala, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal shalih, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiyat[2]. Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah ta'ala akan menganugerahi taufiq kepadanya kembali.

@ Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya.

Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya.

Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya, “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu juga turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama”[3].

Para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’, ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya dibolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman; seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa”.

@ Kiat Keempat: Memprioritaskan amalan yang wajib.

Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi bahwa Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan”. HR. Bukhari.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!?. Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban!. Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.

@ Kiat Kelima: Berusaha Untuk Mendapatkan Lailatul Qadar.

Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya al-Qur’an[4], dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat[5], dialah malam yang berbarakah[6], dialah malam yang yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan (83 tahun plus 4 bulan)![7]. Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah ta'ala maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya[8].

Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam:

“Carilah lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan”. HR. Bukhari.

Dalam suatu hadits di Shahih Bukhari dan Muslim Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana seyogyanya yang dikerjakan seorang muslim agar mendapatkan malam lailatul qadar: “Nabi shallallahu’alaihiwasallam jika memasuki sepuluh (terakhir Ramadhan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’[9], menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya”. HR. Bukhari dan Muslim.

@ Kiat Keenam: Jadikan Ramadhan sebagai madrasah untuk melatih diri beramal shalih, yang terus dibudayakan setelah berlalunya bulan suci ini.

Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.

Allah ta’ala memerintahkan (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ajal”. QS. Al-Hijr: 99.

Merupakan ciri utama diterimanya puasa seorang hamba di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilannya dalam meraih lailatul qadar adalah: berubahnya ia kita menjadi lebih baik daripada kondisinya sebelum Ramadhan. Semoga kita termasuk bagian dari mereka, amien

Wallahu ta’ala a’lam…

Kedungwuluh Purbalingga, 11 Ramadhan 1429 H / 10 September 2008 M


[1] Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah, nasehat yang disampaikan oleh guru kami Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun.

[2] Lihat dampak-dampak dari maksiat dalam kitab ad-Daa’ wa ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan adz-Dzunub wa Qubhu Aatsaariha ‘ala al-Afrad wa asy-Syu’ub karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48.

[3] Latha’if al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292.

[4] QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3.

[5] QS. Al-Qadar: 4.

[6] QS. Ad-Dukhan: 3.

[7] QS. Al-Qadar: 3.

[8] HR. Bukhari dan Muslim.

[9] Kiasan dari tidak melakukan hubungan suami istri.

Komentar

Postingan Populer