Santri Kelas Satu



Adalah sebuah anugrah yang tidak terkira, aku bisa menyelesaikan studiku di Pesantren Gontor ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa impianku untuk melanjutkan pendidikan setelah menyelesaikan sekolah di Madrasah Tsanawiyah, di Pesantren Gontor ini terwujud. Aku dulu pernah menghayal, bahwa Gontor adalah pesantren yang sangat berdisiplin tinggi dan ketat. Bahkan aku sering berandai-andai tuk bisa mengenyam pendidikan disana, merasakan semua cerita-cerita yang masuk ke telingaku. Guru-guru yang datang mengajar di Madrasah Tsanawiyahku seakan-akan memberi tahu kepada kami “beginilah pendidikan dan pengajaran di Gontor”. Mereka datang sebagai utusan dari Gontor. Mereka datang untuk mengabdi di Madrasahku, karena Madrasahku selalu mendapat kiriman bantuan tenaga kerja guru dari Gontor. Secara, karena madrasahku adalah ponpes yang dikelola oleh pimpinan alumni Gontor. Meski setiap tahun ada saja yang pergi, ada pula yang datang. Namun, semua guru-guru itu adalah sumber inspirasi yang tak pernah terlupa. Mengabdi adalah kewajiban terakhir semua santri kepada Gontor. Salah satu cara mengabdi yang Gontor sarankan dan anjurkan adalah menjadi guru.


Guru-guru itulah penyebab kenapa aku menginjakkan kakiku di bumi Darussalam, sebuah kampung damai. Rasa penasaran, keingintahuan, rasa ingin merasakan, dan seterusnya juga faktor utama kepergianku ini. Semoga guru-guruku itu masih dalam keadaan sehat, meski saat ini tidak semuanya kutahu keberadaan mereka. Andai suatu saat ada kesempatan untuk bertemu, kuingin memeluk dan berterima kasih atas inspirasi-inspirasi yang aku ambil dari mereka.

Tidak semua orang tahu bagaimana kehidupan di Pesantren Gontor. Sebuah film “Negri 5 Menara” menurutku masih belum menjelaskan Gontor seutuhnya. Gontor itu luas, setiap santri punya cita rasa yang berbeda dalam mengeyam pendidikan di Gontor. Maka dari itu, izinkan aku tuk bercerita sedikit apa yang aku tahu. İya, ini adalah pandanganku, hasil aku mengamati selama menjadi santri.

Kelas satu. Mereka yang datang dari lulusan SD ataupun Madrasah Ibtidaiyah akan memasuki kelas ini. Sedang aku datang setelah menjadi lulusan Madrasah Tsanawiyah, setingkat SMP. Jadi, kelas satu bukanlah kelas yang aku masuki. Aku masuk ke kelas satu intensif. Pada kesempatan selanjutnya akan aku jelaskan insyaAllah.

Kelas satu. Mereka adalah anak-anak kecil yang masih polos. Wajah-wajah mereka masih bersih, seakan bayi yang baru lahir. Pertama masuk Gontor, ibarat pertama datang ke dunia. Dalam kata lain, ketika kita masuk Gontor kita akan mempelajari semuanya dari nol lagi.

İya, mereka masih kecil, tapi bercita-cita untuk menjadi besar. İya, mereka sekarang rendah, namun bermasa depan yang tinggi. Oleh karena itu, tidak sedikit wali atau orang tua yang sulit untuk meninggalkan mereka sendiri. Ada orang tua yang rela menginap di penginapan tamu setiap harinya, demi melihat anaknya sehat dan tidak terjadi apa-apa. Ada orang tua yang datang seminggu sekali, dua minggu sekali, tiga, empat, dan seterusnya. Makanya, di bagian penerimaan tamu itu biasanya penuh dengan anak kelas satu. Ketika aku melewati bagian penerimaan tamu aku melihat ada mereka yang sedang disuapin makanan, ada yang sedang menangis, ada yang sedang tidur di paha bundanya, dan banyak lagi.

Santri kelas satu. Mereka tinggal di sebuah gedung yang bernama GBS. Gedung ini terletak di depan masjid jami’ sebelah kanan. Tempat ini khusus untuk anak baru dan kelas satu saja. disinilah mereka berkumpul dan bersenda gurau, mandi, belajar mencuci, belajar berbicara bahasa arab, mempelajari pelajaran, dari tidur sampai bangun kembali, dari bangun sampai tidur. Anak-anak GBS mempunyai kehidupan yang jelas. Tempat yang akan mereka kunjungi dan sering mereka kunjungi adalah rayon (asrama), masjid, dapur umum, kantin, dan kelas. Sangat jarang sekali mereka ditemukan di tempat lain. Mereka mempunyai aturan khusus, yaitu tidak diperkenankan berbicara dengan anak lama. Oleh karena itu, mereka merasa tidak bebas dan selalu diawasi. Mereka lebih memilih untuk menaati dan menenangkan diri.

Sebagaimana anak baru yang lainnya; kelas satu ataupun kelas satu intensif hanya mendapatkan kesempatan berbicara bahasa Indonesia dalam waktu tiga bulan. Setelah tiga bulan berlalu, jangan harap mereka bisa berbahasa Indonesia dengan leluasa. Karena sejak saat itu ada mata-mata yang ditugaskan khusus untuk mencari pelanggar bahasa. Beginilah perkenalan awal santri baru dengan bahasa di Gontor.

Anak kelas satu memiliki ciri-ciri khusus. Jadi, jika ciri-ciri ini terdapat pada mereka, kita bisa mengambil kesimpulan pasti mereka adalah kelas satu. Di antaranya; bertubuh kecil (meski ada juga yang besar), kemana-mana membawa gantungan kunci dan kuncinya (biasanya digantungkan di leher atau pinggang), selalu membawa kantong sandal, pakaian mereka agak lusuh, berwajah polos, selalu berlari dengan senjata piring yang terhunus ketika pergi ke dapur umum, setiap benda kepunyaan mereka bertuliskan nama mereka, kurang bersih, yang jelas mereka menggunakan papan nama yang tercantum kelas mereka, dan lain-lain lagi.

Mereka tidak tinggal sendiri di asrama. Ada pengurus yang dikenal dengan mudabbir, yang selalu mendampingi mereka. Mereka adalah pengurus rayon, santri kelas lima yang diberikan tanggung jawab khusus untuk mengawal jagoan-jagoan kecil ini. İya, pengurus biasanya orang-orang pilihan, yang memumpuni dalam bidang apapun, bahasa (Arab dan Inggris) khususnya. Merekalah tempat anak-anak kelas satu ini bercurhat, berbagi suka dan duka. İya, pengurus inilah yang membangunkan mereka di pagi yang masih gelap, meneriakkan kosakata-kosakata di setiap paginya, memantau dan bertanggung jawab atas kehidupan anak kelas satu dari mereka bangun sampai tidur lagi, bahkan ketika mereka tidur sekalipun.

Ke Gontor Apa yang Kau Cari? Tulisan ini terpasang di dinding gedung GBS secara besar. Setiap orang yang melewati pasti terpaksa untuk membacanya. İya, mereka masih anak-anak kelas satu yang tidak tahu apa-apa. Jadi, pertanyaan ini seakan memancing dan mengingatkan mereka untuk memikirkan tujuan awal dan akhir kenapa mereka berada disini.

Lonceng berbunyi. Mereka pun berlari. Guru-guru pun mendatangi kelas masing-masing. Jujur, mengajar anak kelas satu sangat susah. Aku pernah mengajar mereka dan ternyata memang begitu susah. Namanya juga anak kecil, guru harus sabar dalam mengajar. Para guru pengajar anak kelas satu adalah orang-orang yang bersemangat tinggi. Kelas-kelas anak kelas satu selalu terlihat dan terdengar ramai. Mereka lebih suka diajak berteriak daripada mendengarkan penjelasan guru yang bertele-tele.

Sayangnya, aku tidak tahu apa yang dirasakan mereka, apa yang mereka pikirkan. Karena aku belum merasakan sendiri bagaimana menjadi santri kelas satu di Gontor. İya, aku pun merasakan, tapi sebagai santri kelas satu intensif yang akan aku jelaskan di lain waktu. Namun, dari apa yang aku lihat, anak-anak kelas satu adalah anak-anak yang super pemberani. Mereka masih kecil, tapi meninggalkan rumah mereka yang jauh, belajar mandiri, dan seterusnya. Banyak orang tua yang menangis ketika berjumpa dengan anaknya. Karena tiba-tiba anaknya datang mencium tangan ayah bundanya, tiba-tiba anaknya terlihat mandiri, tiba-tiba anaknya tahu bagaimana hidup sendiri tanpa orang tua. İya, beginilah Gontor mendidik santri-santrinya.

Mungkin cerita ini terlihat sangat pendek. Karena masih banyak yang belum aku ceritakan. Tentunya, jika ada kesempatan lain aku akan melanjutkan lagi cerite tentang santri kelas satu ini. Gontor, adalah tempat yang berisi jutaan kenangan, yang masih terngiang hingga sekarang.

Kahramanmaras Turki, 30 Januari 2014
   


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer